Hutang seharusnya dibayar. Entah itu kecil atau besar, baik benda atau jasa, sebagai makhluk yang berbudi pekerti luhur seharusnya membalas segala kebaikan yang telah diberikan orang lain. Bukan malah pura-pura tidak tau atau malah melupakannya. Sebagaimana hutang puasa Ramadhan yang pasti berlaku bagi kaum hawa (wanita) ini juga harus dibayar. Sayangnya banyak wanita disibukkan dengan kegiatannya yang menyebabkan lupa membayar hutang puasa Ramadhan. Memang ada dua cara membayar hutang puasa Ramadhan, yaitu dengan mengganti puasa di hari lain atau membayar fidyah. Fidyah adalah memberikan makanan kepada fakir miskin yang sebanding dengan apa yang kita makan sehari-hari. Namun fidyah hanya berlaku untuk orang sakit parah yang tidak memungkinkan lagi untuk berpusana.
Dari masalah tersebut, selagi anda masih sehat dan kuat berpuasa maka membayar puasa Ramadhan dengan menggantinya dihari lain itu harus. Nah agar anda tidak berat dalam menjalankan puasa dihari di luar bulan Ramadhan, maka pilihlah hari-hari libur. Misalnya jika hari libur anda sabtu dan minggu, gunakan dua hari itu untuk membayar hutang puasa ramadan. Sehingga puasa anda lebih bermakna dan terhindar dari hal-hal negatif yang mengganggu puasa.
Demikian tips membayar hutang puasa Ramadhan dengan menggantinya dihari-hari libur di sela kegiatan anda. Walau Ramadhan masih cukup lama, namun alangkah baiknya ketika hutang puasa sudah terlunasi. Tentu lebih semangat menghadapi bulan Ramadhan selanjutnya. Selamat mengganti puasa Ramadhan dan semoga berhasil. :)
mudahan kita masih mendapati bulan ramadhan tahun ini dan bisa memnfaatkan kesempatan ini untuk membersihkan hati dari dosa-dosa yg pernah diperbuat dengan melakukan puasa ramadhan. amiin ya robbal alamin...
ReplyDeleteamin
ReplyDeleteassalam.. maaf mba.. tapi ada hadist yang melarang berpuasa pada hari sabtu dan minggu karena itu harinya yahudi dan nasrani? nah itu gimana mba?
ReplyDeleteWa'alaikum salam... :)
ReplyDeleteKeadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.
Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,
« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »
“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[ HR. Bukhari no. 1986]
Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.
Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.
Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .
Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.]
Jadi kesimpulannya kak..
1. Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh berpuasa pada hari Sabtu.
2. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.[ Ini kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/75-76.]
Pada dasarnya pendapat ulama tentang suatu masalah tertentu bisa berbeda-beda kak... Silahkan ingin mengambil pendapat dari siapa..:D